Di kalangan kaum akademis, aktivis maupun politis, proses menjadi Indonesia sering kali di sangkutpautkan dengan tiga perkembangan utama. Ke-3 perkembangan utama itu merupakan jargon perpolitikan yang sangat populer, dari tiga tahap itu bisa kita lihat “Orde Lama”, “Orde Baru” dan terakhir “Orde Reformasi” dan tak bisa dipungkiri bahwa akan ada lagi orde-orde lain yang akan menyusul sebagai konservasi dari orde-orde lama dengan melihat perkembangan zaman yang setiap waktu mengalami perubahan.
Berbicara mengenai ketiga tahapan di atas, sering kali menjadi tolak ukur bagi perubahan yang terjadi dalam realitas sekarang. Melihat dengan gencarnya perpolitikan kian hari kian menusuk rakyat. Wacana perubahan sering kali direlasikan dengan perkembangan politik sehingga wacana akan perkembangan rakyat sangat sulit untuk menjadi pembahasan utama. Hal menjadi pertanyaan besar bagi penulis, kenapa di era orde refomasi wacana kerakyatan tak pernah menjadi berita utama malah hampir seluruh media lebih mengutamakan berita-berita tentang politik? Memang pada dasarnya politik ketika diartikan secara leterlek akan menimbulkan konotasi yang positif, namun zaman sekarang kita tidak lagi berbicara pada tataran aksiologi permasalahan tapi harus merujuk pada substansi masalah setelah itu diimplementasikan dalam keseharian kita.
Tak heran jika terjadi ketimpangan kebijakan pada pemerintahan adalah ulah dari mereka sendiri, karena awal mulanya muncul sebagai bentuk untuk mempertahankan kelompok dan bahkan untuk memperbaiki citra pribadi mereka terhadap publik.. Tak salah jika sebahagian kaum akademisi, aktivis dan politisi berasumsi bahwa Indonesia sekarang adalah Indonesia Kapitalis plus pragmatis. Aggapan seperti ini memang sudah mentradisi di Indonesia setelah bergulirnya rezim Orde Baru ke Orde Reformasi. Kecenderungan masyarakan terhadap hal instan (barang ekspor) adalah bentuk pemikiran pragmatisasi . hal ini muncul karena kontruksi sosial masyarakat tidak terbiasa berpikir produktif. Memang menggiurkan ketika melihat barang dengan harga yang sangat murah dan mudah dijangkau oleh konsumen namun, perlu dicatat bahwa di saat mengambil barang tersebut secara otomatis barang dalam negeri kita akan mengalami stagnasi alias tidak laku dan ketika barang negeri kita tidak laku maka perguliran ekonomi dalam negeri juga akan ikut terpuruk.
Pengaruh politik Indonesia sangat erat kaitannya dengan pengaruh pemikiran pragmatisme dan kapitalisme. Pragmatisme, tak diingkari telah menjadi semacam ruh yang menghidupi tubuh ide-ide dalam ideologi Kapitalisme, yang telah disebarkan Barat ke seluruh dunia melalui penjajahan dengan gaya lama maupun baru. Dalam konteks inilah, Pragmatisme dapat dipandang berbahaya karena telah mengajarkan dua sisi kekeliruan sekaligus kepada dunia–yakni standar kebenaran pemikiran dan standar perbuatan manusia.
Atas dasar itu, mereka yang bertanggung jawab terhadap kemanusiaan tak dapat mengelak dari sebuah tugas mulia yang menantang, yakni menjinakkan bahaya Pragmatisme dengan mengkaji dan mengkritisinya, sebagai landasan strategis untuk melakukan dekonstruksi (penghancuran bangunan ide) Pragmatisme, sekaligus untuk mengkonstruk ideologi dan peradaban Islam sebagai alternatif dari Kapitalisme yang telah mengalami pembusukan dan hanya menghasilkan penderitaan pedih bagi umat manusia.
Sutan Tahir Alisyahbana pernah mengeluarkan pernyataan yang lantang dengan slogan-slogan. Dia berkata: “Kesadaran tentang individualisme harus dibangkitkan” atau “Bangsa Indonesia harus didorong untuk menumpuk kekayaan material sebanyak mungkin” (Ayu Ratih, Reconsidering the ‘Great Debate’ on Indonesian National Culture in 1935-1942).
Lepas dari perdebatan yang filosofis, banyak ide-ide dasar kapitalisme yang dapat diartikulasikan secara pragmatis. Kapitalisme secara pragmatis juga ide tentang hak atas kepemilikan individu, rasionalitas dan ekonomi pasar. Tiga ide ini yang mestinya kembali digagas untuk Indonesia.
Zaman sekarang sudah pasti berbeda dengan masa Sutan Takdir Alisyahbana dulu. Kini mitos bahwa kemiskinan tidak akan pernah dapat diakhiri pada zaman kita telah memenuhi ruang pikiran setiap orang. Mitos ini telah menghilangkan banyak harapan. Sejumlah pihak menuduh kapitalisme sebagai biang keladi situasi ini. Tetapi saya melihat justru sebaliknya. Ketiadaan prinsip-prinsip dasar kapitalisme yang telah memiskinkan masyarakat kita.
Hal yang tak terpikirkan oleh kita sebagai kaum akademisi. Sering kali kita berdialektika pada tataran ideologis dan kognitifitas dan tak pernah mencoba untuk berpikir bagaimana melakukan sebuah perubahan dengan sebuah gerakan yang menciptakan kedamaian dan kesejahteraan bagi masyarakat luas. Sungguh naïflah sebagai kaum pelajar hanya bisa menjadi komsumtif dan audience terhadap produk-produk yang menghegemoni perekonomian bangsa kita tanpa bisa menjadi produktor yang bisa menghidupkan perekenomian masyarakat sebagai bentuk perlawanan bagi produk-produk tersebut. Olehnya, penulis hanya ingin mengajak kaum produktifitas agar bisa menjadi The agen of chance bagi masyarakat luas, Indonesia pada umumnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar