Materi debat
Pemakaian bahasa perlu diatur dengan UU bahasa daerahnya
Menurut rencana, RUU Bahasa akan disahkan pada tahun 2007. Namun, hingga saat ini tanda-tanda ke arah itu belum tampak.Bahkan, tahap sosialisasi kepada publik belum juga usai.Terkesan alot dan berbelit-belit.Padahal, RUU itu sudah disusun sejak awal 2006.Alotnya pengesahan UU Bahasa memang bisa dipahami.Berbahasa sangat erat kaitannya dengan kebebasan berekspresi.Kalau orang berbahasa mesti harus diatur segala oleh undang-undang, bisa “mati kutu”. Orang tak bisa lagi mengekspresikan pikiran dan perasaannya sesuai dengan gaya, kebiasaan, dan latar belakang kulturalnya.
Beberapa pasal dalam RUU yang terdiri dari 10 bab dan 22 pasal ini memang bisa ditafsirkan menghambat kreativitas publik dalam berbahasa, lebih-lebih bagi kalangan pers dan dunia usaha yang mendapatkan perhatian khusus dalam RUU ini. Bahkan, seorang pejabat pun bisa “kena batu”-nya. Dalam RUU yang dibuat oleh Pusat Bahasa Depdiknas ini –konon– disebutkan pula pasal-pasal tentang penggunaan bahasa, termasuk sanksi hukuman penjara dan denda yang akan diterima pihak yang dinilai telah melanggar peraturan dalam berbahasa.
Berikut ini adalah beberapa pasal dalam RUU Bahasa yang dinilai menjadi biang penyebab alotnya pengesahan UU Bahasa.
Pidato kenegaraan, termasuk naskah pidato, baik yang disampaikan di dalam negeri maupun di luar negeri, harus menggunakan bahasa Indonesia yang baik dan benar. (pasal 9 ayat 2)
Media massa, baik cetak maupun elektronik wajib menggunakan bahasa Indonesia. Demikian juga film, sinetron, dan produk multimedia dari negara lain harus dialihbahasakan ke dalam bahasa Indonesia dalam bentuk sulih suara atau terjemahan. (pasal 11)
Merek dagang, iklan, nama perusahaan, nama bangunan/gedung, dan petunjuk penggunaan barang harus menggunakan bahasa Indonesia. (pasal 12)
Pejabat negara dan pejabat publik diwajibkan mempunyai kemahiran berbahasa Indonesia hingga tingkat tertentu. (pasal 13)
Menyikapi pasal-pasal dalam RUU Bahasa yang demikian krusial, reaksi yang keras justru muncul dari kalangan linguis.Jos Daniel Parera, mantan dosen IKIP Jakarta, misalnya, menilai RUU Bahasa dan Kebahasaan bisa membunuh kreativitas dan inovasi masyarakat dalam bahasa dan berbahasa. Bahasa dan berbahasa adalah fenomena alam.Oleh karena itu, tidak ada seorang manusia pun yang berhak mengatur bahasa dan orang berbahasa.Pakar linguistik yang selalu kritis terhadap keberadaan Pusat Bahasa ini justru mengusulkan agar Pusat Bahasa dibubarkan dan dibentuk satu lembaga bahasa yang bersifat independen.
Sainul Hermawan, pengajar Ilmu Budaya Dasar FKIP UNLAM, Banjarmasin, menilai bahwa UU Bahasa akan senasib dengan UU yang lain, seperti UU Kekerasan dalam Rumah Tangga yang berbenturan dengan kultur keluarga di Indonesia yang malu menceritakan aib dalam keluarga. Atau, juga tak jauh berbeda dengan nasib UU Lalu Lintas dan UU Hak Cipta yang tidak lebih dari sebuah pajangan.Yang bermain adalah tangan-tangan kekuasaan tunggal dan tradisi bungkam serta saling memanfaatkan.
Sementara itu, Ariel Heryanto, menyatakan kalau RUU Bahasa lebih didorong oleh keprihatinan atas jumlah dan cara pemakaian istilah-istilah Inggris secara obral dan serampangan, UU Bahasa agaknya bisa diterima sebagai perwujudan sikap nasionalis. Namun, kalau motifnya sebagai media “pengekangan” terhadap kebebasan seseorang dalam berekspresi, yak, tunggu dulu! Bisa jadi masih banyak pendapat lain yang tidak setuju apabila UU Bahasa disahkan. *Aduh, repot juga, nih!*
Menyikapi berbagai reaksi yang muncul, guru Besar Linguistik Universitas Indonesia, Harimurti Kridalaksana, mengatakan, undang-undang bahasa nantinya hanya mengatur penggunaan bahasa dalam tingkat pemerintahan. Menurutnya, aturan bahasa di masyarakat tak akan berlaku efektif karena masyarakat bisa mengatur sendiri penggunaan bahasa dalam kehidupan sehari-hari. Namun, pernyataan ini berbeda dengan apa yang dikemukakan olehMustakim, Kepala Bidang Pembinaan Pusat Bahasa Depdiknas. Dia mengatakan bahwa nantinya akan ada sanksi bagi penggunaan bahasa asing di tempat umum dan sekolah standar internasional yang menggunaan bahasa asing sebagai bahasa pengantar.
Berbahasa sangat erat kaitannya dengan kebebasan seseorang dalam berekspresi. Ekspresi inheren dengan gaya dan kepribadian seseorang yang sangat personal sifatnya. Kalau kebebasan berekspresi yang bersifat personal itu lantas diatur dan dibatasi oleh UU, lantas di mana lagi hakikat manusia sebagai makhluk sosial mesti diposisikan?Bukankah (hampir) setiap ruang dan waktu kita butuh berkomunikasi dengan sesama? Berbahasa pun sangat erat kaitannya dengan kultur dan kebiasaan seseorang. Jangan-jangan, rakyat Indonesia nanti kehilangan sikap ramah dan cenderung menjadi pendiam setelah UU Bahasa disahkan.Daripada terkena sanksi?
Okelah, kalau memang sikap nasionalisme kita akan lebih dipertajam lewat UU Bahasa. Agaknya anak-anak bangsa negeri ini memang perlu diingatkan bahwa sejarah kita telah mencatat bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional sejak 79 tahun yang silam. Kecintaan dan kebanggaan terhadap bahasa nasional perlu terus dibangkitkan dan dihidupkan dari generasi ke generasi. Meskipun demikian, tidak lantas berarti kita kehilangan kearifan dengan menghalang-halangi seseorang untuk bebas berekspresi dan bertutur sesuai dengan kultur mereka.
UU Bahasa agaknya akan lebih bermakna jika digunakan untuk mengatur hal-hal yang lebih khusus, seperti berbahasa di lingkungan formal, berbahasa di lingkungan elite pejabat, atau di tempat dan ruang tertentu yang bisa melunturkan kecintaan dan kebanggaan seseorang terhadap bahasa Indonesia apabila bertutur dengan bahasa “gado-gado”. Selebihnya, berikan kebebasan kepada siapa pun yang menjadi penghuni negeri ini untuk bertutur sesuai dengan kebiasaan dan kultur mereka masing-masing.
Kalau setiap berbahasa di ruang publik mesti dikontrol, lantas siapakah nanti yang akan menjadi pengawasnya? Kalau memang ada, siapkah mereka bertugas 24 jam non-stop untuk mengontrol dan mengawasi setiap tuturan yang meluncur di ruang publik?
Pengalaman selama rezim Orde Baru berkuasa menunjukkan, justru yang miskin memberikan keteladanan dalam berbahasa di ruang publik adalah para elite pejabat.Mereka yang seharusnya menjadi “patron” teladan bagi rakyat dalam berbahasa justru terkesan seenaknya dalam berbahasa.Ironisnya, hal itu ditiru dengan sikap latah oleh bawahannya sebagai bentuk penghormatan kepada atasan.Sebuah contoh sikap yang masih menggejala di tengah-tengah lingkungan masyarakat paternalistis.Sebelum disahkan, sebaiknya RUU Bahasa dikaji lebih cermat.Jika perlu, lakukan uji publik dengan melibatkan berbagai komponen bangsa agar kelak UU Bahasa benar-benar menjadi milik bangsa.Nah, bagaimana
Pemerintah mengabaikan peran sastra dalam pembangunan Negara
Jakarta, Kompas (24 Maret 2011) - Terabaikannya Pusat Dokumentasi Sastra HB Jassin merupakan cermin kemerosotan budaya literasi di Tanah Air, yang berdampak pada minimnya apresiasi terhadap karya sastra. Padahal, sastra punya peran penting dalam membentuk peradaban bangsa.
”Membiarkan pusat dokumentasi sastra terbengkalai memperlihatkan hancurnya peradaban kita,” kata Martin Aleida, sastrawan yang produktif menulis cerpen dan buku, Rabu (23/3).Ia menilai para penentu kebijakan mengabaikan PDS HB Jassin karena mereka tidak memiliki budaya literasi yang kuat sehingga tidak menganggap pusat dokumentasi sastra terlengkap di Indonesia itu sebagai sesuatu yang penting.
Karena kekurangan dana, pengelola PDS HB Jassin berencana menutup pusat dokumentasi yang didirikan pada 1977 itu. Puluhan ribu koleksi karya sastra dan dokumentasi yang terkait dengan sastra terancam rusak.
Peran sastra membangun peradaban bangsa sangat penting.Melalui karya sastra, ujar Martin, seseorang tidak hanya mengembangkan imajinasi yang bisa digunakan untuk membangun bangsa, tetapi juga sebagai media untuk mewariskan nilai kearifan lokal kepada generasi muda.Kearifan lokal inilah yang membentuk jati diri bangsa Indonesia. Menurut Martin, pengabaian sastra berakar dari buruknya sistem pendidikan di Indonesia yang hanya memasukkan sastra sebagai bahan bacaan untuk dihafal jalan ceritanya, tidak untuk diapresiasi. Siswa membaca karya sastra melalui sinopsis yang dibuat guru.Siswa mengerti garis besar cerita, tetapi tidak mampu memahami nilai-nilai yang ingin disampaikan oleh penulis.Hal ini terjadi karena sebagian besar karya sastra di Indonesia masih berada di wilayah orang dewasa.Belum banyak karya sastra yang ditulis kembali dengan bahasa yang mudah dipahami anak-anak atau remaja, seperti dilakukan di luar negeri.Penulis sekaligus penyair Nirwan Dewanto mengatakan, melalui sastra, bahasa yang dimiliki suatu bangsa dihidupkan dan diperbarui terus-menerus. Melalui sastra, orang memiliki media untuk bergaul dan ”bermain” dengan bahasanya. ”Perkembangan bahasa merupakan ciri peradaban manusia yang maju,” tutur Nirwan.Usaha membangkitkan kesadaran terhadap kesusastraan, menurut dia, harus terus dilakukan, tidak hanya bergerak ketika sudah ada kasus seperti PDS HB Jassin. Untuk menyelamatkan PDS HB Jassin dan pusat-pusat dokumentasi lain, Nirwan melihat perlunya upaya dari semua pihak, baik pemerintah maupun masyarakat. Agar pihak swasta mau terlibat, pemerintah perlu mendorong dengan memberikan insentif, seperti keringanan pajak.Terabaikannya pusat dokumentasi dan perpustakaan di Indonesia, menurut Ninis Agustini, dosen Jurusan Ilmu Informasi dan Perpustakaan Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Padjadjaran, Bandung, karena orang enggan memanfaatkannya akibat minimnya informasi tentang buku atau dokumen yang dicari. Hal ini terjadi karena pusat dokumentasi dan perpustakaan belum ditangani oleh ahli yang tepat.Masih ada pemahaman bahwa pustakawan hanya sekadar penjaga buku.”Seorang pustakawan selain bertanggung jawab atas pengelolaan koleksi juga harus bisa menjadi konsultan bagi pengunjung yang ingin mengakses koleksi,” kata Ninis.Di beberapa negara maju, pustakawan untuk tingkat sekolah saja harus berpendidikan minimal magister bidang perpustakaan.
Pandai berpidato dalam bahasa indonesia adlah syarat mutlak bagi seorang pemimpin
Kepemimpinan bukanlah sebuah klub ekslusif bagi mereka yang “terlahir dengan jiwa kepemimpinanâ.Karakteristiknya yaitu bahan-bahan mentah kepemimpinan, dapat diperoleh dan dipelajari.Gabungkanlah bahan-bahan mentah itu dengan niat dan tidak ada yang dapat merintangi anda untuk menjadi seorang pemimpin.
Menurut John C. Maxwell, kepemimpinan itu dikembangkan, bukan ditemukan. Orang yang “terlahir sebagai pemimpinâ sejati akan selalu menonjol, tetapi untuk tetap berada di atas, karakteristik kepemimpinan alamiah haruslah dikembangkan.
Ada beberapa tingkat kepemimpinan yang harus anda ketahui jika anda ingin menjadi pemimpin. Yaitu: pertama, pemimpin yang MEMIMPIN. Potret seorang pemimpin seperti ini dilahirkan dengan mutu kepemimpinan.Melihat kepemimpinan yang diteladani selama hidupnya kemudian mempelajari kepemimpinan tambahan lewat latihan dan dia memiliki disiplin diri untuk menjadi pemimpin yang hebat di kemudian hari.Kedua, Pemimpin lewat PENGAJARAN.Potret pemimpin yang kedua ini, melihat kepemimpinan yang diteladani dalam sebagian besar hidup, mempelajari kepemimpinan lewat latihan, memiliki disiplin diri untuk menjadi pemimpin yang hebat. Ketiga, Pemimpin yang TAK KENTARA, pada potret pemimpin yang ketiga, anda akan mendapati belum lama melihat kepemimpinan yang diteladani karena dia sedang belajar untuk menjadi seorang pemimpin lewat latihan dan berusaha menerapkan kedisiplinan diri untuk menjadi pemimpin yang baik
Terakhir, Pemimpin yang TERBATAS yaitu sedikit atau sama sekali tidak terlihat memiliki bakat sebagai pemimpin, kurang atau tidak suka mengkuti pelatihan kepemimpinan namun dia memiliki keinginan untuk menjadi seorang pemimpin.
Kepemimpinan adalah pengaruh, dan pengaruh adalah suatu keterampilan yang dapat dikembangkan.Dengan meningkatkan pengaruh berarti kita sedang mengoptimalkan potensi kepemimpinan.
Ada segitiga kekuatan yang dapat membantu para pemimpin untuk maju.Ia berkata, â€tiga komponen dalam segitiga ini adalah komunikasi, pengakuan dan pengaruh. Pada saat anda mulai berkomunikasi secara efektif, anda akan mendapatkan pengakuan, dan kemudian mengarah pada pengaruh.
Lalu bekal apakah yang perlu anda siapkan agar sukses menjadi pemimpin?
Menjadi pemimpin itu mungkin mudah tapi yang paling sulit dan rumit adalah kalau seseorang ingin menjadi pemimpin yang sejati, pemimpin yang positif dan pemimpin yang mengajak ke jalan yang benar. Syarat dan bekal minimal seorang pemimpin yang baik menjadi sangat mutlak untuk dimiliki yakni: pertama, ada rasa karisma. Ada beberapa karakteristik para pemimpin yang berkarisma yaitu memiliki perilaku terpuji, jujur dan dapat dipercaya, memegang komitmen, memiliki prinsip hidup yang kuat, konsisten dengan ucapannya dan memiliki ilmu agama yang memadai.Seorang pemimpin adalah selalu mereka yang memiliki kemampuan di atas masyarakat pada umumnya.Kedua, memiliki keberanian.Berani membela yang benar, berpegang teguh pada pendirian yang benar, tidak takut gagal, berani mengambil resiko dan berani beratanggung jawab.
Dan keberanian harus ditunjukkan dengan komitmen untuk membela yang benar.Berani tanpa adil belum dapat dikatakan berani. Karena pemimpin yang berani tidak akan mudah goyah pendiriannnya. Ia akan memegang kuat-kuat apa yang diyakininya sebagai kebenaran. Karakteristik menonjol seperti berani mengambil resiko dari seorang pemimpin merupakan sebagai sebuah upaya menuju proses penyempurnaan menuju kepemimpinan sejati. Ketiga, mampu berpidato atau berkomunikasi dengan baik.
Artinya anda haruslah mampu berkomunikasi dengan baik dan mahir merangkai kata-kata, mampu menyederhanakan masalah, berbicara yang menarik perhatian, memiliki penjelasan sederhana yang dapat dipahami, mampu menyentuh nurani dan mengetahui kondisi dan keadaan sekitar. Keempat, mampu mempengaruhi orang lain. Dalam mempengaruhi orang lain sebenarnya erat kaitannya dengan upaya melakukan hubungan yang harmonis dengan bawahan. Diantara karakteristiknya adalah membuat orang lain selalu merasa penting, membantu kesulitan orang lain, mengemukakan wawasan dengan cara pandang yang positif, tidak merendahkan orang lain, siap menjadi sukarelawan dan memiliki keahlian dan kelebihan yang menonjol dibandingkan dengan yang lainnya. Kelima, mampu membuat strategi.Seorang pemimpin semestinya secara inherenidentik dengan seorang ahli strategis. Maju mundurnya sebuah perusahaan, sukses dan gagalnya pekerjaan di kantor sangat ditentukan oleh strategis seorang pemimpin atau manager sebuah perusahaan.
Kriteria seorang pemimpin yang mampu membuat strategi adalah menguasai medan, memiliki wawasan yang luas, berpikir cerdas, kreatif dan inovatif, mampu melihat masalah secara komprehensif, mampu menyusun skala prioritas dan mampu memprediksi masa depan.
Keenam, memiliki moral yang tinggi.Moralitas merupakan modal dasar bagi seorang pemimpin yang berkualitas.Seorang pemimpin adalah figur secara moral dapat dipertanggung-jawabkan. Dan karakteristik pemimpin yang bermoral adalah tidak menyakiti orang lain, mampu menghargai orang lain dengan berbagai jenis karakter dan perbedaan, bersikap santun dengan perkataannya yang terkendali.
Ketujuh, Anda haruslah memiliki rasa humor.Seorang pemimpin harus memiliki rasa humor.Pemimpin adalah gudangnya humor, tetapi bukan rasa humor yang diobral murah. Karakteristik pemimpin yang memiliki rasa humor adalah murah senyum, mampu memecahkan kebekuan suasana, mampu menciptakan kalimat yang menyegarkan, setiap masalah dihadapi dengan wajah ceria, kaya akan cerita dan kisah-kisah lucu dan mampu menempatkan rasa humor pada situasi yang tepat.
Kedelapan, mampu menjadi mediator. Karena pemimpin harus mampu bertindak adil dan obyektif, maka dua hal tersebut akan menunjang tugasnya sebagai seorang mediator yang baik. dan karakteristik pemimpin yang mampu menjadi mediator secara optimal adalah berfikir secara pisitif, setiap ada masalah mampu berada di tengah, memiliki kemampuan masalah melobi, mampu mendudukkan masalah secara profesional, dan mampu membedakan kepentingan pribadi dan kepentingan bersama.
Kesembilan, mampu menjadi motivator.
Hubungan seorang pemimpin dengan motivasi sangat erat.Seorang pemimpin adalah sekaligus seorang motivator.Tugas ini merupakan keniscayaan sebagai pucuk pimpinan yang bertugas membangun motivasi kerja bagi para anak buahnya. Pemimpin adalah titik sentral dan titik awal sebuah langkah akan dimulai.
Motivasi akan lahir jika punuk pimpinan menyadari fungsinya sebagai motivator. Tugas tersebut tidak dapat diabaikan karena dia motivasi merupakan sarana vital dalam membangun semangat kerja di kalangan karyawan. Adapun tanda-tanda seorang pemimpin yang menyadari fungsinya sebagai seorang motivator adalah memeliki kepedulian terhadap orang lain, mampu menjadi pendengar yang baik, mengajak kepada kebaikan, mampu meyakinkan orang lain, berusaha mengerti keinginan orang lain dan mampu berdiri di muka serta di tengah dan di belakang.
Dan yang terakhir adalah, anda mampu mengendalikan diri.
Bekal seorang pemimpin terkait dengan kecerdasannya ada tiga; kecerdasan intelektual, emosional dan kecerdasan spiritual.Seorang pemimpin seharusnya dapat membekali dirinya dengan ke tiga kecerdasan tersebut karena ketiga-tiganya menjadi penentu suksesnya sebagai seorang pemimpin yang baik.Dan ketiganya selalu terwujud dalam perilaku yang terjaga dan memiliki karakteristik diantaranya adalah; menjadikan hati nurani sebagai pelita, mampu membedakan antara yang haq dan yang batil, mampu mengendalikan emosi, tidak serakah, tidak takabur.
Pada dasarnya manusia tidak melawan perubahan; mereka melawan “untuk diubahâ€. Tetapi bila manusia itu tidak berubah, tidak ada perubahan yang akan terjadi.
Nah, uraian penulis di atas dapat menjadi bahan renungan untuk anda. Dan sebaiknya bagi anda yang memilih untuk menjadi pemimpin di masyarakat, hendaklah menyempurnakan kembali kekurangan-kekurangan anda sebagai sosok pemimpin yang akan dicintai masyarakat. Dan karena pada dasarnya setiap kita adalah pemimpin, maka hendaklah kita melengkapi diri dengan karakter-karakter di atas, sehingga kita dapat memimpin diri dan masyarakat menuju kesuksesan dunia dan kejayaan di akherat.
Sastrawan indonesia jaman dulu lebih berkualitas daripada sastrawan zaman sekarang
Dengan terbukanya kebebasan mencipta, kita menyaksikan membanjirnya tulisan-tulisan dalam berbagai media massa, juga yang terbit dalam bentuk buku. Lembaga penerbitan buku juga tumbuh menjamur di mana-mana.Gejala seperti itu mungkin membesarkan hati kita.Tetapi apakah dengan demikian kesusasteraan kita mengalami kemanjuan atau perkembangan yang berarti?
Ternyata tidak demikian. Kebebasan memang penting, bahkan cenderung menentukan.Tetapi ternyata kebebasan mencipta saja tidak cukup.Untuk menciptakan karya yang bernilai juga memerlukan kedalaman dan keluasan wawasan, selain daya kreativitas yang tinggi.
Hingga kini karya sastra kita masih terpuruk.Di gelanggang internasional, sastra kita belum bisa bicara apa-apa.Beberapa kali terbit antologi sastra dunia, karya penulis kita tidak ada yang ikut termuat di dalamnya.Dalam hal ini kita kalah oleh penulis dari Palestina dan Papua Nugini.Selain perlu disayangkan tentu perlu juga kenyataan seperti itu jadi renungan bersama.
Kita tidak bisa bicara hanya soal kuantitas.Masalah kualitas karya selamanya merupakan hal yang terpenting sepanjang kita bicara seni sastra.Pada mulanya, kata sastra memang berarti tulisan atau karya tertulis.Namun tidak setiap karya tertulis adalah karya sastra.Samalah halnya, tidak setiap novel adalah karya sastra.Sekarang ini kebanyakan yang terbit adalah karya tulis, tetapi tidak banyak yang berkualifikasi karya sastra.
Sastra, atau tepatnya susastra, memerlukan kekayaan kandungan nilai-nilai.Pada umumnya nilai-nilai filsafat dan agama merupakan ramuan yang sangat penting untuk setiap karya sastra.Tanpa kandungan nilai-nilai filosofis dan religius, sastra bukanlah sastra, tidak lebih dari seonggok teks yang gagu dan hampa.Aneh rasanya, jika masih banyak penulis bersmangat, tetapi menjauhi nilai-nilai reliji dan filosofi.
Meskipun demikian kita tidak bisa mengatakan bahwa tiap karya yang syarat nilai-nilai agama atau filsafat pastilah sebuah karya sastra yang berhasil. Dengan kata lain, tidak dengan sendirinya seorang ahli agama atau ahli filsafat adalah sastrawan.
Mungkin sudah kodrat sastra, harus mengacu kepada filsafat.Jika tidak yang terjadi hanyalah teks yang tergolong karya pop saja.Sayangnya terlalu banhyak penulis kita yang tidak atau belum tertarik kepada filsafat.Maka janganlah heran jika yang kini membanjir adalah karya-karya pop.
Kejadian seperti itu tampaknya akan berjalan terus, dalam kurun waktu yang akan cukup panjang. Itu dimungkinkan, karena tidak adanya seleksi terhadap karya-karya yang akan diterbitkan. Pertama, karena setiap penulis bisa saja menerbitkan karyanya sendiri, tanpa lewat saringan tertentu.Kedua, kita memang sedang tidak punya kritikus sastra yang berwibawa dan professional.Krisis kritikus sastra?Katakanlah demikian.
Tentu sangat menyedihkan (juga memalukan), sikap penulis tertentu yang sangat naïf terhadap kritik. Ada penulis yang memandang peran kritikus sama dengan benalu. Katanya, jika tidak ada karya, maka tidak ada kritik. Maka kritikus pun akan kenhilangan pekerjaan, jika tidak ada karya yang bisa dikritik. Bahkan ada sastrawan ternama, ketika karyanya dikritik, naik pitam.Dari mulutnya yang sering bernada tasawuf, berhamburan makian bagaikan orang sedang mabuk alcohol.
Bagaimana dengan sastra koran dan sastra majalah? Pemuatan di media tentu melalui tangan-tangan redaktur.Tetapi tidak banyak redaktur yang memiliki kapasitas dan cita rasa sastra yang unggul, setidaknya memadai. Dengan demikian banyaknya karya-karya yang beredar lewat media massa tidak pernah mampu mendongkrak kualitas sastra kita selama ini. Jangan pula lupa, bahwa koran atau majalah adalah komoditi yang tidak lepas dari spirit industri.
Tetapi bagaimanapun kualitas karya sastra ditentukan terutama oleh mutu sastrawannya itu sendiri.Sayangnya, terlalu banyak penulis kita, yang terlalu minim pengetahuannya tentang sastra itu sendiri. Masih banyak penulis yang idak paham,misalnya,apa beda cerita dengan plot. Cerita, sebenarnya hanya merupakan bahan mentah (raw material) dari sebuah karya. Apabila cerita itu telah diolah melalui reka cipta, barulah ia menjadi plot karya yang bersangkutan.
Kelemahan lain, kebanyakan penulis kita adalah dalam penggunaan bahasa. Mereka berniat menulis karya sastra, tetapi bahasa yang digunakan adalah bahasa harian, bahasa biasa, bukan bahasa literer.Kebanyakan karya-karya mereka juga hanya menyuguhkan cerita seadanya (bahan mentah), belum diolah menjadi plot.
Kita memang perlu bicara seni, termasuk seni fiksi.Sayang tidak sedikit orang yang menyuguhkan fiksi, tetapi bukan seni fiksi.Tidak sedikit, penulis, yang untuk menutupi kelemahan (karyanya) lalu melakukan berbagai upaya yang tidak relevan.Misalnya dengan menyuguhkan hal-hal yang berbau pornografis.Ada juga yang menjadikan bumbu politik, atau peristiwa politik, sebagai warna tulisannya.
Tentu saja sastra politik juga sah-sah saja.Masalahnya, yang terjadi di sini, politik tampil sebagai polusi.Berbeda dengan dalam umumnya sastra Amerika Latin, di mana politik hadir sebagai tulang punggung estetika.
Salah paham masyarakat tampaknya tidak bisa dibiarkan terus-menerus.Misalnya adanya mitos sastra exil atau sastra kiri. Sebenarnya apa yang selama ini disebut sebagai sastra kiri, kebanyakan sama sekali bukan karya sastra. Jika disimak dan diuji, ternyata tidak lebih dari teks-teks yang sangat sloganistis.Dan sastra tentu berbeda dengan slogan.