Hanya pejuang yang menjadikan dirinya sebagai martir untuk mencapai tujuan organisasinya, dan hanya pecundang yang menjadikan organisasinya sebagai martir untuk mencapai tujuan dirinya sendiri, kelompoknya, dan golongannya.
Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) merupakan organisasi kemahasiswaan yang memiliki peran dan fungsi serta posisi yang sangat strategis di kancah perubahan kehidupan sosial dan politik, khususnya di wilayah perkaderan dan perjuangan mahasiswa. Komitmennya yang tinggi serta loyalitasnya yang penuh terhadap “nilai”, menjadikannya sebagai pelaku sejarah yang hingga hari ini (mungkin) masih bisa kita rasakan bersama.
Kader sebagai pelaku dan subjek perubahan di Himpunan adalah mereka yang mempunyai daya juang dan idealisme tinggi. Mereka adalah tulang punggung organisasi, pelopor, penggerak, pelaksana, serta penyelemat cita-cita HMI masa kini dan yang akan datang di manapun berada, dan tetap berorientasi kepada asas dan syariat Islam. Mereka inilah kemudian disebut sebagai martir, yang memiliki 5 kualitas insan cinta sebagaimana yang terumus dalam Tujuan HMI Pasal 5 Anggaran Dasar HMI. Mereka adalah pejuang sejati, bukan pecundang abadi yang ketika diperhadapkan pada agenda-agenda perjuangan dan perkaderan selalu apatis, tetapi mengintervensi secara terus-menerus atas kepentingan pribadi dan golongannya.
Sebagai seorang kader, sudah selayaknya mengingat bahwa fungsi HMI adalah sebagai organisasi perkaderan. Dengan tujuan 5 insan cita tersebut, mempertegas tuntutan bahwa ke mana arah perkaderan HMI harus dilaksanakan dan diarahkan. Inilah yang mesti dijadikan landasan. Hematnya, tugas pokok HMI adalah tugas perkaderan. Maka, semua kegiatan HMI hendaklah menggambarkan fungsi kekaderannya, bukan yang lain.
Apa yang terjadi hari ini dengan lahirnya beragam pelanggaran-pelanggaran terhadap Anggaran Dasar/Anggaran Rumah Tangga (AD/ART) sebagai konstitusi utama dan mendasar yang dilakukan sebahagian besar kadernya, justru menciderai cita-cita HMI yang sesungguhnya: menjadi organisasi yang akomodatif demi terwujudnya masyarakat adil makmur yang diridhoi Allah swt. Namun, cita-cita ini tidak pernah mewujud nyata dan menyeluruh dirasakan oleh semua kalangan tanpa kecuali.Konstitusi kerap dijadikan sebagai alat dan mainan politik secara timpang. Tidak ada kesungguhan untuk menjalankan, yang ada hanya sebuah penghianatan.
Hal tersebut bisa kita simak. Secara hampir totalitas, Pengurus Cabang sudah inkonstitusional, tidak konsisten terhadap apa yang menjadi aturan main dalam organisasi. Hal ini menilik dari diundurnya Konferensi Cabang (KonferCab), forum pengambilan keputusan tertinggi di tingkatan Cabang, dengan alasan yang sangat tidak rasional, yakni mengikut pada Keputusan PB HMI (lihat: hasil Rapat Pimpinan Komisariat-Komisariat HMI Cab.Yogyakarta, akhir Desember 2013 yang menyatakan bahwa ada surat edaran dari PB HMI kepada seluruh Pengurus Cabang untuk tidak melaksanakan KonferCab sampai setelah dilaksanakannya Kongres PB HMI). Ini yang harus kita pahami bersama bahwa PB HMI hanyalah sebuah lembaga tertingi di wilayah HMI, dan bukan sebagai landasan hukum (keputusannya) yang harus diikuti. Kader HMI, siapun dia, adalahorang-orang yang cerdas, bisa membedakan mana landasan hukum dan mana yang bukan.
Dalam ber-HMI, sudah menjadi kewajiban bagi semua kader untuk selalu memegang prinsipnya masing-masing. Sifat “ikut-ikutan”, sama sekali tidak pernah diajarkan di dalamnya.
Yang lebih mengherankan lagi, ketika peserta Pleno II (berlangsung semalam, 04 Mei 2013) mencoba mempertanyakan terkait pengunduran KonferCab tersebut, baik Ketua Umum, Sekum, dan Pengurus-Pengurus Cabang lainnya memberikan alasan yangberbeda dari hasil rapim sebelumnya, yakni ketakutan akan adanya dualisme ketika KonferCab dilaksanakan sebelum setelah Kongres PB HMI terlaksana. Sungguh alasan yang mengada-ada. Di dalam berjuang, resiko ataupun konsekuensi adalah hal yang wajar. Jikalaupun ketakutan itu adalah alasan utamanya, berarti Pengurus bukanlah kader yang berani berjuang demi mewujudkan kepentingan organisasi.
Pelanggaran-pelanggaran terhadap konstitusi lain bisa dilihat juga dari minimnya – bahkan tidak tercium sama sekali – pengawalan Pengurus Cabang sebagai penanggungjawab penuh terhadap visi dan misi HMI. Perjuangan dan perkaderan yang menjadi dasar didirikannya organisasi ini tidak berjalan sebagaimana adanya. Di setiap momentumnya, selalu saja ada agenda-agenda politis yang dikedepankan, bukan untuk tujuan organisasi, melainkan tujuan dengan mengedepankan kepentingan individu ataupun kelompoknya. Tentunya, ini yang justru akan sangat membahayakan agenda perkaderan ke depannya. Ketika kekuasaan dijadikan sebagai misi utama dalam pencapaian sebuah organisasi, tanpa mengerti bahwa ia (kekuasaan) hanyalah sebuah amanah yang sifatnya sementara, dan harus dipertanggungjawabkan kapan dan di mana harus dipertanggungjawabkan, maka kehancuran akan menjadi jawaban yang paling tepat untuk itu.
Selain itu, kran demokratisasi dalam tubuh HMI sendiri kerap dibuntukan bahkan ditutup secara sadar dan sengaja. Forum-forum pengambilan keputusan secara kolektif, seperti rapim-rapim dan pleno, tidak dijalankan sebagaimana ia berfungsi. Pleno yang secara konstitusi sebagai forum evaluasi Pengurus di setiap semesternya, justru dijadikan sebagai wadah pelanggengan kekuasaan. Bagaimana tidak, Pengurus sebagai pihak yang dievaluasi kepengurusannya malah diposisikan sebagai Peserta Penuh yang mempunyai hak bicara dan hak suara di dalamnya. Ditambah lagi, mereka adalah peserta mayoritas di forum tersebut – Pengurus berjumlah puluhan orang, sedangkan utusan-utusan dari Komisariat sebagai Peserta Penuh juga yang hadir saat itu lebih kurang di bawahnya. Akibatnya, evaluasi berjalan seenak Pengurus saja karena merasa punya otoritas yang sama dengan Peserta Penuh lainnya. Serta masih banyak lagi perilaku-perilaku lainnya yang sangat sarat akan kepentingan belaka.
Untuk itu, apa lagi yang mesti dibanggakan dan diharapkan dari Pengurus semacam ini: bobrok, banal, bebal, dan tidak bertanggungjawab? Kita tahu bahwa mereka harusnya mengabdi terhadap kadernya, tetapi kepentingan dan kehausan akan kekuasaannya selalu meniadakan pengabdian tersebut. Mereka, ketika ngomong, selalu ngapusi (bohong); ketika berjanji, selalu mengingkari; dan ketika dipercaya, justru malah berkhianat. Maka masih pantaskah mereka menjadi pemimpin dengan segala kemunafikannya itu?
Akhirnya, perjuangan yang sesungguhnya harus dilaksanakan sedini mungkin. Kita harus yakin bahwa sebagian besar dari kita masih punya rasa untuk itu: niat baik untuk bersama-sama memperbaiki wadah perjuangan dan perkaderan ini ke depannya. Masih banyak di antara kita yang tidak dirasuki virus-virus kemunafikan yang selama ini ditebarkan oleh orang-orang yang tidak bertanggungjawab. Datangilah, lalu ajak mereka berdioalog untuk agenda perubahan ke depannya yang lebih layak.
Banyak metode dan cara perjuangan yang bisa kita lakukan untuk itu, tetapi yang harus kita pahami bahwa apapun cara atau metodenya, tujuannya hanyalah sederhana, yakni penyadaran, kritik-otokrtik, dan pemberian pelajaran yang baik dan sehat bagi mereka agar ke depannya tidak berlaku demikian lagi. Sungguh tidak ada kata terlambat untuk melakukan sampai benar-benar menyesal ketika tidak berlaku demikian.
Jika sadar bahwa kita adalah pejuang, dan bukan sebagai pecundang, maka jalankanlah misi suci ini sebagai wujud komitmen dan loyalitas kita terhadap “nilai” yang selama ini menjadi cita-cita dan harapan besar Himpunan ini. Selamat berjuang...!!!
*Tulisan ini adalah hasil sharing pendapat bersama teman-teman yang merasakan hal yang serupa, yakni kegelisahan serta keresahan terhadap realitas HMI Cabang Yogyakarta hari ini, khususnya perilaku-perilaku para Pengurusnya yang sama sekali tidak bertanggungjawab atas apa yang telah mereka lakukan selama ini. Semoga bermanfaat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar